15 December 2006

KENAPA ARTIS GAMPANG BERCERAI?

Dalam 10 hari terakhir ini, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa artis dan juga presenter "papan atas" di rekaman beberapa program untuk tayangan TV. Dan karena topik perceraian di kalangan artis memang tampaknya hangat, tentu saja akhirnya kita pun berbicara mengenai hal ini. Yang membuat saya terperangah, bahkan sempat melompong, adalah ketika Erwin Parengkuan mengingatkan bahwa sebagian besar penggugat justru si perempuan! "Ada apa nih, Mbak?" begitu rata-rata pertanyaan mereka kepada saya.

KLIK - Detail Menjawab pertanyaan: "Bagaimana Anda menghayati peran dalam sebuah sinetron?" Mediana Hutomo yang tampak cerdas dan penuh percaya diri itu mengatakan bahwa saat dirias, ia mulai membayangkan bagaimana ia harus "berakting" di depan kamera. Dan sejalan dengan persiapan fisik yang terkait dengan kostum, suasana di lokasi dan selanjutnya, ia lalu siap ketika harus mulai action.

Tetapi, kalau untuk "masuk" terasa mulus, ketika syuting berakhir dan mestinya artis kembali menjadi dirinya sendiri, mulailah ada masalah.

Tak semudah menanggalkan kostum, apalagi kalau kita berada dalam sebuah peran untuk waktu lama, kejar tayang, dan syuting tak cuma satu sinetron! Maka, jangan heran bila di luar setting panggung, seorang artis biasanya bisa kita tebak, dari gaya berjalan, menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, atau dari derai tawanya, sekali pun kita di belakangnya! Lalu, orang awam biasanya berkomentar: "Ah, namanya juga artis!"

Rupanya, memisahkan kehidupan keseharian yang mestinya disikapi dengan meletakkan diri dalam setting kehidupan yang normal-normal saja, juga susah. Taruhlah, si artis sebenarnya ingin sekali tidak dikenal orang, bisa belanja ke pasar becek dengan leluasa, biasanya lingkungan tidak mau "melepaskan" sosok yang biasanya cuma ia lihat di layar TV dan berlalu begitu saja di depannya. Ada yang sampai biru dicubiti orang, bahkan diajak ngobrol, cari tustel untuk berfoto dan seterusnya. Semua ini menyebabkan banyak privasi yang harus dikorbankan, dan pada gilirannya, lalu membatasi pula ruang geraknya!

Sahabat saya, Didi Petet, pernah menelepon saya dengan kecemasan tinggi, ketika kami sama-sama ada di Medan. Rupanya, mobil penjemput terlambat datang dan ia mulai panik, karena orang-orang yang mengenali dirinya (artis yang ini sangat rendah hati, tak pernah mengatakan "penggemar saya," dan selalu menyebut fans-nya dengan "orang yang mengenali wajah saya") makin lama makin banyak mengelilinginya, mulai colek-colek, tarik-tarik dan seterusnya. Sesuatu yang pasti tak akan pernah terjadi pada kita yang bukan selebritis, walau terlambat dijemput 2 jam sekali pun!

Kalau seorang artis lalu "lupa" memisahkan kehidupan keseharian yang wajar-wajar saja seperti kehidupan orang biasa dengan gemerlap selebritis yang penuh puja-puji serta sorotan yang tak henti dari khalayak, tentunya ia jadi punya kebutuhan besar untuk diperhatikan orang, menjadi pusat perhatian, dan sebaliknya, kurang sekali kebutuhannya untuk memahami orang lain, peka terhadap kebutuhan orang (wong selalu dibutuhkan, kok?) dan apalagi, mengagumi orang lain, bukan?

CERAI, BAGIAN GAYA HIDUP

Pelan tetapi pasti, kebutuhan seorang selebritis tentu menjadi berbeda dengan orang awam. Terbiasa disorot, bila ini terkait dengan sosok yang paham benar apa artinya menjadi terkenal, biasanya membuahkan pernyataan: "Yah, risiko pekerjaan deh, banyak sekali kehidupan kita yang diincar untuk jadi komoditi publik," begitu kata Dewi Yull dengan bijaknya.

Tetapi, Desy Ratnasari pernah dengan nada kesal mengatakan: "Rumah tangga sama dengan sebuah pemerintahan, yang ada aturan-aturan yang disepakati dan hal-hal yang pelakunya tak ingin ini menjadi konsumsi publik. Lagipula, saya membiayai rumah tangga sendiri, kok, jadi saya berhak mengaturnya dan mengatakan apa yang ingin saya katakan dan sebaliknya." Tegas sekali, dan ini pastilah merupakan buah dari kekesalan akibat selalu "dikuntit" dengan rasa ingin tahu yang besar guna memenuhi kebutuhan infotainment yang, masya Allah, tiada hari tanpa tayangan tentang kehidupan selebritis.

Kalau ada pernyataan yang mengatakan bahwa karena yang cerai adalah selebritis maka itu menjadi sorotan, sementara orang awam juga banyak yang menikah, memang tak ada data penunjang untuk membenarkan atau membantahnya. Tetapi, kalau kita ikuti berita perceraian atau perpisahan di kalangan selebritis, mudah sekali kita menyebut daftar yang (cukup) panjang di kurun waktu beberapa bulan terakhir ini saja.

Yang menumbuhkan keprihatinan sebenarnya ada 2 hal. Pertama, ada sebuah persepsi keliru di kalangan masyarakat. Menjadi selebritis biasanya lekat dengan pemuasan mimpi duniawi kita. Rumah bagus, mobil mewah, pakaian gemerlapan, banyak teman dan kehidupan yang glamor. Tanyalah anak-anak yang berangkat remaja, pasti dari 5 anak, paling sedikit 3 mengatakan ingin menjadi entah artis, presenter, penyanyi, yang semuanya dekat dengan gambaran di atas!

Lalu, bagaimana kalau cerai juga dianggap bagian identik dari hidup yang didambakan ini? Bukankah perkawinan lalu akan menjadi sebuah dari sekian banyak rangkaian peristiwa hidup saja? Maka, mudahnya mengatakan cerai dan kemudian melakukannya, bisa-bisa juga dianggap sebagai bagian dari apa yang perlu ditiru dari kalangan selebritis.

Yang kedua, untuk para selebritis sendiri, beban sosial (kalau beban moral kok rasanya muluk-muluk) yang timbul dari predikat menjanda, yang mestinya juga bisa berfungsi sebagai REM untuk tidak mudah-mudah amat memutuskan bercerai, lalu tidak terasa berat lagi. "Ah, semua teman juga begitu kok? Malah kalau nggak begitu, bukan selebritis dong namanya?"

Pada posisi di mana sebagian masyarakat justru berkiblat pada para seleb ini, akan lebih baik kalau hal-hal positif yang lekat dengan kehidupan para seleb, juga memasukkan unsur kelangsungan perkawinan, sebagai salah satu "jati diri" sang seleb! Bukan sebaliknya, kalau seleb mestinya gampang dong kawin-cerai.

1 comment:

Sasmi said...

Kesenangan dunia emang cobaan teresar~ Ketika seseorang merasa sudah punya segalanya, tanpa sadar mereka punya ego yg besar karena merasa bisa melakukan segalanya, jd tampak tidak menghargai apa2x yg sudah dimilikinya, tp banyak yg tidak mau mengakui k'lo memang kesombongan yg jd penyebab utamanya~

Semoga saja aku menikah dengan orang yang bisa menghargai bahkan hal terkecilpun~ Dan akupun begitu~